Authentication
315x Tipe PDF Ukuran file 0.54 MB
1 PENELITIAN MODEL BUDIDAYA KEPITING SOKA RAMAH LINGKUNGAN DAN STIMULASI TEKNIS PENERAPANNYA DI TAMBAK I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan kepiting dunia baik kepiting bakau maupun rajungan adalah komoditas ekspor yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data yang tersedia di Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat saja mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan hasil tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat minim. Padahal, negara yang menjadi tujuan ekspor kepiting bukan hanya Amerika tetapi juga Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa. Baik kepiting bakau maupun rajungan adalah komoditas ekspor yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data yang tersedia di Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat saja mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan hasil tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat minim. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan. Meskipun mengandung kholesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh, merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik. Selenium 2 diyakini berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Selain itu, Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang begitu penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak. Bahkan kandungan asam lemak penting ini pada rajungan lebih tinggi lagi. Dalam 100 gram daging rajungan mengandung 137 mg Omega-3 (EPA), 90 mg Omega-3 (DHA), dan 86 mg Omega-6 (AA). Untuk kepiting lunak/soka, selain tidak repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit semuanya dapat dimakan. Bukan hanya dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat ditukar dengan dollar. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai anti virus dan anti bakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang murah dan aman. Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 5.8 juta kilometer persegi atau 75% dari total wilayah Indonesia. Wilayah laut tersebut ditaburi lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada. Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak ± 1.2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak udang baru 300.000 Ha. (Dahuri, 2005). Sisanya masih tidur. Artinya, peluang membangunkan 3 potensi tambak tidur tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar. Kepiting dapat ditemukan di sepanjang pantai Indonesia. Ada dua jenis kepiting yang memiliki nilai komersil, yakni kepiting bakau dan rajungan. Di dunia, kepiting bakau sendiri terdiri atas 4 spesies dan keempatnya ditemukan di Indonesia, yakni: kepiting bakau merah (Scylla olivacea) atau di dunia internasional dikenal dengan nama “red/orange mud crab”, kepiting bakau hijau (S.serrata) yang dikenal sebagai “giant mud crab” karena ukurannya yang dapat mencapai 2-3 kg per ekor, S. tranquebarica (Kepiting bakau ungu) juga dapat mencapai ukuran besar dan S. paramamosain (kepiting bakau putih). Kepiting soka atau kepiting cangkang lunak adalah kepiting bakau fase ganti kulit (moulting) atau kepiting lemburi. Kepiting dalam fase ini memunyai keunggulan yaitu memunyai cangkang yang lunak (soft shell mud crab) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Pengembangan budidaya kepiting soka ini merupakan diversifikasi produksi untuk menjawab tantangan pasar luar negeri. Berdasarkan data yang tersedia di Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat saja mencapai 450 ton setiap bulan. Kepiting tersebut diekspor dalam bentuk segar/hidup, beku, maupun dalam kaleng. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan hasil tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat minim. Harga kepiting cangkang lunak cukup menjanjikan antara Rp 40.000,00, hingga Rp 50.000,00,- per kilogram (kg). Di samping itu usia panen cukup cepat antara 2 - 3 minggu setelah penyebaran benih. Masa panen tidak berlangsung secara bersamaan, tapi yang diambil adalah kepiting dalam fase tlungsumi atau ganti kulit, sedangkan yang belum moulting dibiarkan saja menunggu sampai fase tersebut. 4 Melihat prospek pengembangan budidaya kepiting Soka tersebut maka perlu dilakukan budidaya secara sederhana oleh petambak dalam menghadapi era globalisasi tersebut. Disisi lain banyak terdapat tambak- tambak yang tidak termanfaatkan akibat sulitnya budidaya udang yang dirasakan akibat cemaran air dari industri, maupun buangan rumah tangga. Oleh karena itu untuk memecahkan masalah tersebut kiranya pemberdayaan pembudidaya kepiting soka pada lahan budidaya bandeng atau lahan kurang produktif dianggap cukup efektif. 1.2. Tujuan Untuk mempelajari, mengetahui dan menerapkan teknik budidaya kepiting soka ramah lingkungan secara faktual kepada peternak kepiting soka. Menemukan model dan mengaplikasikan cara-cara berbudidaya yang ramah lingkungan sehingga budidaya yang dilakukan terhindar dari ancaman penyakit yang dapat merugikan peternak kepiting. 1.3. Permasalahan Budidaya kepiting soka yang mulai dikenal dan dilaksanakan oleh kelompok peternak kepiting terbatas di Jawa Timur saat ini masih bersifat konvensional, meniru-niru satu sama lain dan kurang berorientasi pada proses budidaya yang saniter, higienis dan ramah lingkungan sehingga potensi pencemaran begitu tinggi. Belum ditemukannya prosedur tetap teknologi budidaya ramah lingkungan yang dapat menjamin keberlangsungan budidaya kepiting soka dalam jangka panjang sebagai penghasil devisa penting bagi negara. Pola manajemen untuk mempertahankan kualitas air, pola sirkulasi, perencanaan tebar panen secara periodik, asupan pakan serta pengaturan jaringan inlet outlet distribusi air keluar masuk dalam petakan tambak diyakini merupakan pemodelan yang harus dilakukan dengan pola khusus. Untuk itu, upaya menemukan beberapa variasi
no reviews yet
Please Login to review.