Authentication
244x Tipe DOCX Ukuran file 0.05 MB
MK Kode Etik Sandy Kartasasmita, M.Psi. Program Studi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, 2011 Tugas Mata Kuliah Kode Etik Program S2 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Nama : Gracia Ferlita NPM : 707111002 Pelaksanaan Kode Etik Psikologi (Profesionalitas Peneliti) dan Resiliensi Subjek pada Penelitian “Penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengatasi Fobia Kecoa pada Remaja” PENDAHULUAN Kode etik merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Dalam keilmuwan bidang psikologi, juga memiliki kode etik yang juga harus dipenuhi. Kode etik bertujuan untuk sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi agar tidak salah dalam melakukan penerapan pada masyarakat. Juga sebagai pelindung masyarakat dari ketidak profesionalan ahli profesi. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memiliki kebebasan menyelidiki dan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatannya di bidang penelitian, pengajaran, pelatihan, jasa/praktik konsultasi dan publikasi (Hasan, 2010). MK Kode Etik Sandy Kartasasmita, M.Psi. Program Studi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, 2011 Dalam melaksanakan penelitian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog juga tidak terlepas dari kode etik, seperti peneliti dalam penelitian “Penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengatasi Fobia Kecoa pada Remaja”, seorang peneliti dituntut untuk menjadikan kode etik sebagai landasannya melaksanakan kegiatan keilmuan. Karena ketika melaksanakan kegiatannya seperti penelitian seorang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus menjaga nama baik karena akan mempengaruhi citra profesi dan cita dirinya sendiri. Dalam melaksanakan kegiatannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus mengutamakan kompetensi, objektifitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi atas tindakannya. Setiap kegiatan penelitian yang dilakukan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak terlepas dari penggunaan subjek penelitian. Pada penelitian “Penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengatasi Fobia Kecoa pada Remaja”, peneliti menggunakan 2 orang sebagai subjek penelitian untuk melihat keberhasilan penerapan CBT untuk mengatasi fobia kecoa. Setiap subjek memiliki tingkat kecemasan yang berbeda terhadap kecoa dan memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda juga. Tingkat keberhasilan subjek untuk mengatasi kecemasannya tidak terlepas dari resiliensi yang dimiliki oleh setiap subjek penelitian. Resiliensi (Grotberg, 1995: 10) adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Individu yang memiliki resiliensi tinggi akan mampu mengatasi kesulitan dan trauma yang dihadapi. Ketika subjek penelitian dapat mengatasi kecemasannya terhadap kecoa hal tersebut menunjukkan bahwa subjek penelitian MK Kode Etik Sandy Kartasasmita, M.Psi. Program Studi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, 2011 memiliki kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Oleh karena itu dalam penelitian “Penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengatasi Fobia Kecoa pada Remaja”, kita dapat melihat bagaimana perbedaan dan tingkat resiliensi yang dimiliki oleh setiap subjek penelitian dan kita dapat melihat juga bagaimana seorang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menerapkan sikap profesional dan perlakuan terhadap pemakai jasa atau klien serta melakukan tanggung jawabnya dalam menjaga citra profesi dan citra diri ketika melaksanakan kegiatannya dibidang penelitian. RINGKASAN JURNAL (KASUS) Sumber : Diana & Wirawan, H. E. (2010). Penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengatasi Fobia Kecoa pada Remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi ARKHE Volume 15 (1). Anxienty (kecemasan) wajar dialami oleh siapapun, namun ketika kecemasan tersebut berlebihan dan menimbulkan hambatan dalam aspek hidup, maka individu tersebut mengalami gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan yang paling umum ditemukan adalah specific phobia (Thorpe & Salkovskis, 1997). DSM-IV-TR (2000) menuliskan bahwa specific phobia (fobia spesifik) adalah gangguan dengan karakteristik klinis berupa kecemasan yang ditimbulkan karena individu berhadapan dengan objek atau situasi spesifik yang ditakutinya dan seringkali menyebabkan tingkah laku menghindar. Fobia spesifik terdiri dari lima tipe yaitu: animal, natural environment, blood- injection injury, situational, dan tipe lainnya (DSM-IV-TR, 2000). Lindemann (1994) MK Kode Etik Sandy Kartasasmita, M.Psi. Program Studi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, 2011 menyatakan bahwa fobia spesifik yang umum ditemukan adalah tipe animal phobia (fobia hewan) seperti pengertian dari specific phobia, yaitu gangguan dengan karakteristik klinis berupa kecemasan yang ditimbulkan karena individu berhadapan dengan stimulus fobia tertentu, maka pada fobia hewan stimulus yang ditakuti adalah berupa hewan atau serangga. Seringkali individu dengan fobia hewan dapat menjalani kehidupan sehari-harinya secara normal. Individu akan menunjukkan kesulitan dan hambatan ketika di sekitarnya terdapat hewan atau serangga yang menjadi stimulus fobia (Thorpe & Salkovskis, 1997; Lindemann, 1994). Ketika individu menjerit, melompat, ataupun berperilaku lainnya pada saat berhadapan dengan hewan/serangga yang ditakutinya, lingkungan sulit memahami ketakutan yang dialaminya (Marks, 1969). Keluhan fisik (seperti rasa ingin buang air kecil, jantung berdebar, nafas menderu, lelah, dan lain-lain) serta rasa malu yang berkepanjangan karena fobia yang dimiliki dapat menurunkan kualitas hidup individu (Lindemann, 1994). Salah satu penyebab fobia hewan adalah keyakinan irasional atau pemikiran disfungsional yang menyimpang dan keliru terhadap stimulus fobia. Individu dengan fobia hewan, memiliki pikiran yang umumnya berpusat pada ancaman yang dapat membahayakan dirinya (Mash & Wolfe, 2005). Hal ini juga dipertegas oleh Thorpe dan Salkovskis (dikutip dalam Thorpe & Salkovskis, 1997), yang menyatakan bahwa individu dengan fobia hewan memiliki persepsi, keyakinan, dan prediksi yang ekstrim bahwa hewan tersebut akan membahayakan atau merugikannya.
no reviews yet
Please Login to review.