Authentication
345x Tipe PDF Ukuran file 0.54 MB Source: www.stfkledalero.ac.id
SEJARAH FILSAFAT KONTEMPORER DAN POSTMODEREN (abad 20-21) 1. Pengantar: dari Modernitas menuju Filsafat Kontemporer Filsafat adalah dialog.1 Setiap pembahasan tentang pemikiran filsuf-filsuf atau aliran filsafat tertentu di masa silam harus selalu memperhatikan relasinya dengan pemikiran filsuf lain sezaman atau zaman sebelumnya. Sebeb setiap filsuf membangun pemikiran filosifisnya dalam dialog dengan para pemikir lainnya. Itulah salah satu karakter dasar filsafat yang membedakannya dari disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Seorang ahli ilmu pengetahuan alam kontemporer misalnya tidak perlu mengetahui secara baik sejarah ilmu pengetahuan alam atau apa yang pernah dilakukan Isaac Newton, pendiri ilmu pengetahuan alam dari abad ke-18. Ketidaktahuan ini tidak mengurangi kompetensinya sebagai ahli ilmu alam. Dalam filsafat, seseorang tidak mungkin disebut filsuf jika tidak mengetahui dengan baik pemikiran para filsuf besar seperti Platon, Aristoteles, Kant, dan lain-lain. Karena itu sejarah filsafat merupakan sesuatu yang substansial dalam studi filsafat. Dalam studi sejarah filsafat biasanya dikenal empat tahapan periodisasi.2 Pertama, filsafat Yunani dan Romawi Kuno bermula dari masa lahirnya filsafat pada abad ke- 6 SM hingga tahun 529 M. Pada tahun ini Kaiser Justianus dari Byzantium yang dekat dengan agama Kristen menutup semua sekolah filsafat kafir di Athena. Kedua, filsafat Abad Pertengahan yang meliputi pemikiran Boëthius (abad ke-6) sampai dengan Nicolaus Cusanus (abad ke-15), dengan puncaknya abad ke-13 dan permulaan abad ke-14. Ketiga, filsafat moderen yang diawali oleh pemikiran para filsuf Renaissance tetapi mekar secara meyakinkan dengan filsafat Renẻ Descartes (1596-1650) dan berakhir dengan pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900). Keempat, filsafat kontemporer yang berawal dari periode setelah abad ke-19 hingga sekarang. Filsafat abad ke-20 adalah puncak 2500 tahun sejarah filsafat, ditandai dengan diferensiasi disiplin ilmu dan pendidikan filsafat serta proses radikalisasi kritik 1 Bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer. Jerman dan Inggris, Jilid I, Jakarta: Kompas Gramedia, 2014, p. 1 2 Bdk. Ibid., p. 2 Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/1 rasionalitas pada segala bidang. Radikalisasi kritik akal budi bergerak dari persoalan ketaksadaran menuju eksistensi manusia dan bahasa hingga masyarakat dan ilmu pengetahuan. Proses radikalisasi didorong oleh sejumlam bencana kemanusiaan yang menimpa manusia awal abad kedua puluh: dua perang dunia, holocaust, Hirosima. Dalam konteks ini modernitas tidak hanya dibangun di atas singgasana prestasi inovatif teknologi, sosial dan ilmu pengetahuan, melainkan juga ditandai pelbagai fenomen destruktif. Jadi filsafat abad ke-20 dapat juga dibaca sebagai kritik radikal atas modernitas. Karena itu pembicaraan tentang filsafat abad ke-20 atau kontemporer mengandaikan pemahaman tentang modernitas. 1.1. Pemikiran Moderen Filsafat moderen dimulai dengan pemikiran para filsuf besar abad ke-17. Para pemikir ini memahami refleksi filosofisnya sebagai sebuah awal baru yang radikal. Tentu dengan pendasaran yang kokoh dan masuk akal. Namun tak dapat disangkal pula bahwa apa yang disebut “radikal baru” tersebut memiliki akar-akar yang tertancap jauh hingga ke abad pertengahan. Sejumlah faktor historis telah mendorong lahirnya pemikiran moderen. Pada bagian ini akan dikemukanan secara ringkas beberapa faktor penting yang melahirkan paradigma berpikir moderen yang 3 sudah bertumbuh di Eropa sejak abad ke-14 hingga abad ke-17. Secara singkat pergeseran paradigma tersebut dapat dideskripsikan demikian. Tatanan atau orde realitas yang bersifat tradisional dan hirarkis sebagaimana dialami dan dimengerti pada abad pertengahan atau pramoderen perlahan-lahan runtuh dan di atas puing-puing reruntuhan itu muncul pandangan baru di mana segala sesuatu berdiri sejajar, setara satu di samping yang lain. Dalam ilmu pengetahuan perubahan paradigma ini melahirkan metode matematis kuantitatif yang menjadikan dunia sebagai objek penelitian dan rekayasa teknis untuk kepentingan manusia. Pada tataran nilai dan keyakinan perubahan ini berarti setiap individu dibiarkan sendiri mencari jawaban atas persoalan hidup dan mengambil keputusan. Penekanan pada individualitas dan kebebasan pribadi pun bertambah. Sejalan dengan ini muncul keharusan untuk menemukan metode yang membolehkan setiap orang memperoleh kepastian pribadi dan keputusan bertanggung jawab ketika berhadapan dengan pelbagai keraguan. 1.1.1. Runtuhnya Tatanan Tradisional 3 Bdk. Hans Blumenberg, Die Legitimität der Neuzeit, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1998 Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/2 Eropa pada akhir abad pertengahan berhasil menciptakan sebuah tatanan sosial dan kultural yang terstruktur kendati harus melewati pelbagai kesulitan dan ketegangan.4 Tatanan tersebut berpijak pada Allah sebagai titik tumpuan terakhir. Namun sejalan dengan berakhirnya era abad pertengahan berakhir pula pandangan monolitis tersebut. Kesatuan kerajaan, gereja dan masyarakat feodal hirarkis pun tak dapat dipertahankan lagi. Gerakan reformasi mengguncang kesetuan Gereja Eropa secara radikal. Dengan demikian identitias kekristenan dengan satu Gereja yang bercorak sosial dalam ruang budaya Eropa pun berakhir. Kini terdapat beberapa Gereja atau konfensi. Setiap individu atau raja harus mengambil keputusan untuk memilih salah satunya. Sistem budaya Eropa tidak hanya mengalami guncangan secara internal, tapi juga mengalami transformasi dalam perjumpaan dengan budaya luar. Sebelumnya terutama selama abad pertengahan kebudayaan Kristen hanya berhubungan dengan Islam yang juga secara teologis menganut monoteisme dan juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Dalam era moderen Eropa dikonfrontasi dengan pelbagai budaya dan benua yang baru ditemukan dengan ideologi dan agamanya yang tak dikenal sebelumnya. Revolusi berpikir menerpa Eropa dengan berakhirnya sistem dunia geosentris. Dalam filsafat voluntarisme dan nominalisme dengan pencetusnya dari Mazhab Fransiskan yakni Duns Scotus (1266-1308) dan Wilhelm von Ockham (1285-1349) menggeser tatanan nilai dan tatanan eksistensi abad pertengahan yang jelas. Ajaran tentang prioritas kehendak dan prioritas cinta serta pemahaman yang ekstrim tentang kebebasan Allah dihubungkan dengan penyangkalan atas pengetahuan konseptual yang benar tentang esensi dari benda-benda (perdebatan seputar universalia). Dengan latar belakang intelektual seperti ini tatanan penciptaan tradisional tak mampu lagi memberikan pegangan dan kerangka berpikir yang pasti bagi manusia. Thomas Aquinas masih memahami “ada” atau “Sein” sebagai sebuah konsep analogis yang selalu berarti satu tingkatan kesempurnaan tertentu. Sebaliknya Duns Scotus mengajarkan konsep ada yang bersifat univok, para komentator Thomas bahkan mengartikannya sebagai eksistensi semata. Pemahaman ini akhirnya 4Bdk. Emerich Coreth, Harald Schöndorf, Philosophie des 17. und 18. Jahrhunderts, Stuttgart: Kohlhammer, 2000, p. 13 Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/3 mengarah kepada konsep “ada” dalam pemikiran moderen sebagai realitas empiris yang berada satu di samping yang lain. Juga pandangan tentang alam atau kodrat ikut bergeser. Nominalisme dan ilmu pengetahuan alam moderen menghancurkan gambaran tentang sebuah tatanan alam yang otonom dengan tujuan kodrati (telos) tertentu. Di sini kesulitan berhubungan dengan pemahaman teologis seputar relasi antara rahmat (gratia) dan kodrat (natura) ikut juga berperan. Sejumlah orang menemukan sebuah kontradiksi ketika rahmat Allah mengungkapkan kesempurnaan kodrat manusia satu-satunya dan yang sesungguhnya, sementara manusia tak punya hak atas rahmat tersebut. Akibat dari pandangan seperti ini, sejumlah orang berpendapat bahwa kodrat atau alam memiliki kesempurnaan otonom dan tidak membutuhkan rahmat lagi. Teolog lainnya berpandangan bahwa kodrat manusia sebelum jatuh ke dalam dosa memang sempurna sehingga tidak membutuhkan rahmat. Namun dosa asal telah menghancurkan kodrat manusia sehingga seluruh pengetahuan kodrati dan usaha manusia bersifat sia-sia dan diwarnai dosa. Hal ini telah membuka perdebatan dan pluralitas interpretasi atas konsep “kodrat”, hingga sampai pada tahap degradasi alam atau kodrat kepada sekedar instrumen untuk kepentingan-kepentingan manusia. 1.1.2. Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknik Moderen Astronom dan ahli fisika seperti Nikolaus Kopernikus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1642) membawa dan memaklumkan pengetahuan baru bahwa bumi seperti halnya planet-planet lainnya berputar mengitari mata hari. Kendati tidak semua aspek dapat dibuktikan secara empiris, pengetahuan ini memenangkan pertarungan diskursus ilmiah dalam bidang astronomi dan fisika. Runtuhnya gambaran tentang dunia yang lama tidak hanya mengguncangkan rasa percaya pada tradisi, tapi juga menggugat keyakinan dan pandangan manusia yang berpijak pada penginderaan.5 Fisika Aristoteles masih mengajarkan bahwa langit memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sekarang bukan saja manusia dan bumi digeser dari pusat kosmos. Tapi tak ada lagi yang dinamakan tempat-tempat, sfer, arah atau kiblat khusus. Fisika moderen seperti dirancang oleh Isaac Newton (1643-1727) memahami alam semesta sebagai ruang geometris homogen yang tak berhingga di mana berlaku hukum- hukum matematis yang sama. Keanekaragaman kualitatif direduksi menjadi 5 Bdk. Ibid., p. 15 Semester V-2016/STFK Ledalero/Otto Gusti/4
no reviews yet
Please Login to review.