Authentication
337x Tipe PDF Ukuran file 0.30 MB Source: www.dpr.go.id
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN KUNJUNGAN KERJA PANJA RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN) merupakan undang-undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Berlakunya UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN memberikan perubahan pada manajemen kepegawaian Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perubahan itu didasarkan pada sistem yang mengedepankan prinsip profesionalisme, kompetensi, kualifikasi, kinerja, transparansi, objektivitas, serta bebas dari intervensi politik dan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Beberapa perubahan pada manajemen kepegawaian ASN tersebut antara lain: 1. Pembagian manajemen kepegawaian ASN UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN belum memberlakukan sistem kepegawaian tunggal bagi para pegawai yang bekerja di instansi pemerintah. Para pegawai yang melakukan pekerjaan yang bersifat sama harus memiliki status dan perlakuan sistem kepegawaian yang sama. Akan tetapi perbedaan status dan sistem kepegawaian tersebut akan menimbulkan ketidakadilan bagi para pegawai yang sama-sama bekerja di instansi pemerintah. 2. Hilangnya status hukum bagi tenaga honorer/pegawai tidak tetap Perubahan manajemen aparatur sipil negara juga telah mengakibatkan hilangnya status hukum bagi tenaga honorer/pegawai tidak tetap yang selama ini telah mengabdi kepada pemerintah. Tidak ada satupun kebijakan yang memberikan perlindungan kepada tenaga honorer akibat perubahan manajemen tersebut yang seharusnya diatur di dalam ketentuan peralihan (overgang bepalingen). 3. Urgensi keberadaan lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara 1 Menurut UU ASN, Komisi ini adalah sebuah “lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik”. KASN memiliki fungsi untuk melakukan mengawasi terhadap pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan sistem merit dalam manajemen ASN. Persoalannya dari ketentuan mengenai KASN ini terletak pada urgensinya. Penjelasan UU ASN sama sekali tidak menjelaskan pentingnya pembentukan lembaga nonstruktural dibandingkan, misalnya, dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang pengawasan dan penjatuhan sanksi yang selama ini dijalankan oleh Kementerian yang bertugas di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara. Sejak ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2014 hingga saat ini, dalam pelaksanaannya UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dianggap belum mampu menyelesaikan sejumlah permasalahan kepegawaian sehingga menimbulkan ketidakadilan dan kepastian hukum. DPR RI berupaya menemukan solusi terbaik dari berbagai permasalahan tersebut melalui usulan perubahan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Hal-hal pokok inisiatif usulan DPR RI antara lain: 1) Penghapusan KASN Pengalihan tugas, fungsi,dan kewenangan pengawasan sistem merit dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2) Penetapan kebutuhan PNS Disertai dengan jadwal pengadaan, jumlah dan jenis jabatan yang menjadi dasar diadakannya pengadaan dan jika kebutuhan PNS belum ditetapkan, maka pengadaan PNS dihentikan. 3) Kesejahteraan PPPK Pengaturan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), antara lain PPPK mendapat jaminan pensiun. 4) Pengurangan ASN Pengurangan PNS dan PPPK sebagai akibat perampingan organisasi yang menyebabkan pensiun dini secara massal. Pemerintah berkonsultasi dengan DPR berdasarkan pada evaluasi dan perencanaan pegawai. 5) Pengangkatan tenaga honorer. Pengangkatan tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non PNS, dan tenaga kontrak yang bekerja terus menerus dan diangkat berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan sampai dengan tanggal 15 Januari 2014 menjadi PNS secara langsung. Saat ini RUU ASN memasuki tahap pembahasan bersama dengan Pemerintah dalam pembicaraan tingkat I di Komisi II DPR RI. Pada perkembangan pembahasan Panja RUU ASN dengan pemerintah, terdapat isu strategis lainnya yang sepakat untuk dibahas lebih lanjut yaitu tentang digitalisasi pemerintahan. Selama ini digitalisasi pemerintahan dilaksanakan melalui e-government (e-gov) sebagaimana diatur dalam diatur dalam Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi 2 Nasional Pengembangan E-Government. Pengelolaan e-gov masih bersifat sektoral yang mengakibatkan terjadinya pemborosan anggaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) karena pembangunan sistem dilakukan secara sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi. Dalam rangka memperbaiki tata kelola pemerintahan agar dapat mencapai efektivitas, efisiensi, dan integrasi pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). SPBE merupakan pengembangan dari penerapan e-gov yang mengedepankan prinsip interoperabilitas (prinsip kemampuan saling mengoperasikan). Prinsip ini menjadi penting karena memungkinkan adanya koordinasi dan kolaborasi antarproses bisnis dan antarsistem elektronik dalam rangka pertukaran data, informasi, atau layanan SPBE. Lamanya pembaruan aturan tentang pemanfaatan TIK menjadi bukti betapa lamanya kebijakan (regulasi) dapat dibangun secara utuh dan komprehensif. Oleh karena itu, dalam pembahasan RUU ASN perlu mengatur muatan tentang pemanfaatan TIK dalam manajemen ASN maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. UU ASN memberikan dasar hukum bagi penyelenggara negara untuk mengembangkan TIK dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintahan dan kualitas pelayanan publik. 2. Dasar Hukum Pembentukan Panja RUU tentang Perubahan UU ASN Pada tanggal 12 Juni 2020, pimpinan DPR RI menerima Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-28/Pres/06/2020, perihal Penunjukan wakil Pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah menugaskan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan HAM baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mewakili Pemerintah dalam membahas RUU tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pada tanggal 3 Desember 2020, Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus DPR RI mengeluarkan Keputusan perihal penugasan kepada Komisi II DPR RI untuk membahas RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bersama dengan pemerintah. Menindaklanjuti hal tersebut, Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah telah memulai melakukan pembahasan pada tingkat 1. Dan pada tanggal 18 April 2021, Rapat Komisi II DPR RI menyepakati pembentukan Panitia Kerja untuk membahas Perubahan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 3. Maksud dan Tujuan Kunjungan kerja Panja RUU ASN dalam rangka pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan masukan, pengayaan, dan informasi mengenai materi muatan yang akan diatur dalam RUU tersebut. 3 B. HASIL KUNJUNGAN KERJA 1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Universitas Islam Indonesia) a) Pemaparan Narsum (Bapak Dr. Ridwan, SH., M. Hum) 1. Konsideran menimbang huruf a tertulis; “...perlu dibangun aparatur negara”, sebaiknya untuk konsistensi istilah ditulis seragam yaitu “...perlu dibangun aparatur sipil negara”. 2. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ASN dan RUU ASN Perubahan, ASN didefinisikan sebagai profesi bagi PNS dan PPPK. Apakah tepat ASN disebut profesi? Suatu pekerjaan disebut profesi atau profesional dengan syarat sebagai berikut: a) Pekerjaan didasarkan pada keahlian khusus tertentu yang dilakukan secara teratur dan terus menerus. Yang bersangkutan menerima imbalan karena pekerjaan keahlian tersebut. b) Pekerjaan profesi dipertanggungjawabkan secara individual atas dasar dan sebab-sebab keahlian menurut kaidah profesi atau standar profesi atau etika profesi. c) Hubungan keluar pekerja profesi bersifat individual, tidak bersifat jabatan (ambtelijk) apalagi atas dasar jabatan umum (publik). Meskipun seseorang memiliki keahlian, tetapi kalau bekerja atas dasar jabatan dan hubungan keluar bersifat jabatan, maka orang yang bersangkutan bukan dan tidak menjalankan pekerjaan atas dasar profesi atau profesional. d) Pekerjaan profesi atau profesional tunduk pada kaidah profesi atau etika profesi atau standar profesi, dan dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat profesi. Karena itu, segala tindakan hukum terhadap pekerjaan profesi atau profesional harus didahului dan 1 menunggu pendapat masyarakat profesi. Atas dasar syarat tersebut, sebenarnya ASN tidak dapat dikualifikasi sebagai profesi atau profesional, karena beberapa alasan; Pertama, hubungan hukum antara ASN dengan negara (pemerintah) adalah hubungan dinas publik (de openbare dienstbetrekking), hubungan hukum bersegi satu (eenjizdige) yang terjadi ketika PNS ditetapkan sebagai pegawai dengan suatu keputusan (beschikking) dan PPPK ketika menandatangani perjanjian kerja. ASN menundukkan atau 2 mengikatkan diri pada pemerintah. Hubungannya bersifat jabatan (ambtelijk); Kedua, sejak diangkat sebagai ASN, PNS dan PPPK merupakan bagian dari pemerintah, yang melaksanakan pekerjaan 1 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, suatu Pencarian, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 42-43. 2 Hubungan dinas publik ini istilah yang dikemukakan oleh Logemann, yang dalam versi aslinya berikut ini; “waar iemand zich verbindt om zich de aanstelling in ambten van een min of meer bepalde sort te laten welgevallen tegenover bezoldiging en verdure persoonlijke voordelen” (dimana seseorang mengikatkan dirinya terhadap penunjukan pada suatu atau beberapa jenis jabatan/pekerjaan tertentu yang kepadanya diberikan gaji dan keuntungan pribadi lainnya). J.H.A. Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954, hlm. 104. 4
no reviews yet
Please Login to review.