Authentication
192x Tipe DOC Ukuran file 0.13 MB Source: layanan.hukum.uns.ac.id
KRITIKAN PENEGAKAN HUKUM INDONESIA YANG LEGISME (LEGAL P0SITIVISM) MENURUT OPTIK PHILIPPE NONET & PHILIP SELZNICK A. Pendahuluan Sebelum membahas lebih lanjut tentang penegakan hukum dilihat dari sisi teori pakar hukum, alangkah lebih baiknya kita menengok ke belakang tentang hal-hal tgerkait dengan Filsafat Hukum. Apa kegunaan mempelajari filsafat hukum itu. Jika dikaitkan dengan profesi yang rata-rata digeluti oleh mereka yang memiliki latar belakang pendidikan hukum, maka dapat dikatakan bahwa filsafat hukum tidak memiliki kaitan secara langsung dengan profesi hukum pada umumnya. Namun perlu diketahui bahwa filsafat hukum dapat membimbing dan menjadi pelengkap bagi ilmu hukum yang dimiliki oleh seseorang dalam menggeluti profesinya. Hal ini disebabkan karena filsafat hukum memiliki tiga hal yang sangat bermanfaat, antara lain: 1. Karakteristik yang bersifat menyeluruh sehingga seseorang yang memiliki ilmu hukum tidak berrsikap arogan dan apriori terhadap disiplin ilmu lainnya karena telah belajar untuk berpikir holistik dan terbuka. 2. Bersifat mendasar yang bermanfaat untuk melatih seseorang berpikir kritis dan radikal dalam menganalisa suatu masalah hukum yang dihadapi. 3. Bersifat spekulatif yang bermanfaat untuk melatih seseorang berpikir kreatif dan inovatif. Spekulatif yang dimaksud tersebut adalah spekulatif dalam makna menyusun tindakan yang terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Betapa memprihatinkannya penegakan hukum di Indonesia sebagaimana secara gamblang dipaparkan dan solusinya di atas. Berangkat dari pemikiran bahwa tidak sedikit masyarakat, baik masyarakat terdidik, maupun masyarakat tidak terdidik, bahkan masyarakat yang sehari-harinya menggeluti dunia hukum sekalipun khususnya di Indonesia, mereka yang masih terheran-heran ketika mereka memahami hukum adalah sebagai panglima untuk menjawab, 1 memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara atau kasus, ternyata tidak sedikit peraturan-perundangan sebagai hukum tersebut menjadi mandul tidak melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Mohd. Mahfud MD. dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” mengatakan bahwa: ......Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Secara jujur saja kita harus katakan bahwa sebuah hukum yang demokratis adalah selalu membesut dan bumi. Artinya, ia merupakan perwujudan dan nilai-nilai yang melembaga di dalam masyarakat yang menjadi sasarannya, kemudian untuk dengan arif menata dan mensinergikan persilangan kepentingan yang juga harus dipelihara, senyatanya terjadi dalam tabel hidup di masyarakat. Lebih dan itu, terutama di dunia modern, hukum bahian kemudian meluaskan fungsinya untuk melakukan social engineering, rekayasa sosial, men ciptakan sebuah masyarakat yang menjadi cita-cita sebuah bangsa yang menamakan dirinya negara hukum. Hukum adaah hasil ciptaan masyarakat, tetapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogianya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Kalau kita menyorot konsepsi Nonet dan Selznick bahwa “perkembangan hukum sejalan dengan perkembangan Negara”: Represif adalah saat negara poverty of power, sumber daya kekuasaannya lemah sehingga harus represif. Otonom, adalah saat kepercayaan kepada negara makin meningkat, pembangkangan mengecil. Birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum 2 dibuat oleh dan secara profesional di lembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan subordinasi oleh negara. Responsif adalah untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum terhadap perkembangan sosial. Senantiasa dikurangi dan kewenangan membuat hukum diserahkan kepada unit-unit kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan masyarakat. Kalau kita mau melihat bagaimana bangunan hukum, maka bagian yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum (law enforcement), bagaimana pnegakan hukum kita, paling tidak ada penegakan hukum dalam arti luas dan ada pula dalam artian sempit. Dalam arti luas adalah melingkupi pelaksanaan dan penerapan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleb subjek hukum, kalau dalam artian sempit adalah kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan-perundangan. Jimly Asshiddiqie menyatakan: Penegakan Hukum (Jaw enfocernent) dalam artian luas mencakup kegiatan untuk melaksariakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang- undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan. 3 Dalam hal penegakan hukum, yang paling pokok di samping yang lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pembudayaan hukum sesuai dengan budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan sehingga sistem komunikasi dan sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah pentingnya adalah pendidikan hukum (law socialiration and law education) sehingga dengan pendidikan tersebut menjadikan proses pendewasaan dalam berhukum termasuk pendidikan politik kaitannya dengan hukum. Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam pandangannya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum terutama dalam menganalisis institusi-institusi hukum. Bangkitnya ilmu sosial berkontribusi dalam ranah ilmu hukum terutama ilmu politik sangat signifikan terhadap perubahan dan perkembangan di dunia hukum. Nonet dan Selznick meriyatakan: .....Politik pada saat itu menempatkan keadilan pada urutan teratas dalam agenda kepentingan publik. Hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan, protes massal, kerusuhan kaum urban, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan kekuasan, semua itu, tidak seperti masa-masa sebelumnya, dipandang sebagai masalah sosial yang sangat urgen untuk dipecahkan. ......Perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan dan pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada agen-agen hukum yang merespons tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan. Tulisan ini mencoba mengkaji tentang Penegakan Hukum dalam kaitannya dengan pandangan bagimanakah PHILIPPE NONET & PHILIP SELZNICK. B. Permasalahan Dalam makalah ini yang menjadi pokok kajian adalah bagimanakah Kritik yang dilontarkan PHILIPPE NONET & PHILIP SELZNICK, memandang Penegakan Hukum di Indonesia ? 4
no reviews yet
Please Login to review.