jagomart
digital resources
picture1_Makalah Filsafat Ilmu 2117 | Makalah Sastra Gunung Bintan


 349x       Tipe DOCX       Ukuran file 0.03 MB    


Makalah Filsafat Ilmu 2117 | Makalah Sastra Gunung Bintan
makalah seminar internasional sastra gunung bintan sastra sejarah dalam sejarah sastra muhammad natsir tahar sebuah paradoks makalah ini ditulis dengan padat dan cepat untuk menyiasati ruang dan waktu yang terlihat sempit  ...

icon picture DOCX Word DOCX | Diposting 09 Jan 2022 | 3 thn lalu
Berikut sebagian tangkapan teks file ini.
Geser ke kiri pada layar.
                  MAKALAH SEMINAR INTERNASIONAL
                     SASTRA GUNUNG BINTAN
                  Sastra Sejarah dalam Sejarah Sastra 
                      Muhammad Natsir Tahar
       Sebuah Paradoks
       Makalah ini ditulis dengan padat dan cepat untuk menyiasati ruang dan waktu yang
       terlihat sempit. Saya memiliki semacam kecenderungan holistik untuk sedapatnya
       memetakan semua dimensi yang relevan ke dalam hampir semua tulisan. Berpura-
       pura menjadi seorang generalis untuk menutupi bahwa saya tak punya minat
       khusus terhadap disiplin ilmu apapun, kecuali belakangan ini: filsafat.
       Ini juga adalah refleksi kegelisahan saya terhadap tabiat kolektif superfisial kita
       yang merasa selalu selesai dengan satu dua minat khusus. Hari ini kita bicara
       sejarah, jika kebetulan kita tidak punya minat khusus di bidang ini, apakah kita juga
       tidak tertarik untuk memadatkan keseluruhan. Atau -seperti biasa- mengambil
       sepotong kecil mozaik kuno terdekat, untuk kita umumkan bahwa itulah sejarah
       leluhur kita. 
       Johann Wolfgang von Goethe seperti mengomel, "Barang siapa tidak dapat belajar
       dari   masa   tiga   ribu   tahun   berarti   dia   tidak   memanfaatkan   akalnya".  Tokoh
       terpenting dalam dunia sastra Jerman dari zaman Romantisme Eropa ini merasa
       bahwa manusia baru punya akal ketika mengambil rentang waktu 30 abad. 
       Terdengar agak kejam dan menyusahkan, meski sebenarnya secara egois ia ingin
       menyeret kita agar memulai titik nol kilometer pengembaraan sejarah manusia
       pada saat dimulainya filsafat. Mungkin ketika Thales sedang mulai mengukur
       bayangannya sendiri,   untuk   mengukur   tinggi   sebuah   piramida   Fir’aun   atau
       menebak gerhana matahari.
       Goethe tidak holistik, karena mestinya sejarah harus dimulai dari silsilah hominid
       yang berujung kepada manusia modern anatomis bernama Homo Sapiens yang
       muncul di benua Afrika sekitar 200.000 tahun lalu. Atau tak ingin berpenat-penat,
       langsung saja meminjam teori  sudden creation  penciptaan Adam dan Hawa,
       sebagai bonus keimanan. Yang jelas itu jauh lebih lebar dibanding hanya tiga ribu
       tahun, dan tentu saja lebih menantang.
       Kita tidak mesti meninggalkan kesadaran penuh bahwa kita sebagai manusia
       adalah rantai konstalasi kosmos yang tidak pernah terputus. Manusia tidak tiba-tiba
       muncul dari gua bagai teori Generatio Spontania-nya Aristoteles yang baru patah
       setelah 2.000 tahun. Lewat  Biogenesis  Louis Pasteur manusia baru tersadarkan
       bahwa dirinya secara terus menerus dilahirkan oleh organisme hidup yang makin
       menyempit menuju periode awal.
       Seperti kita, sejarah sendiri sedang kebingungan mencari jati dirinya. Ia hadir ke
       tengah-tengah kita tanpa pijakan yang kukuh. Kadang-kadang sejarah hanya mirip
       kedipan bintang dari rasi Andromeda yang dikirim sejuta tahun lalu, tanpa
       membawa kabar apapun tentang ujud bintang itu. Sejarah di lain waktu adalah
       percikan partikel, puing-puing yang tak pernah utuh dan tidak terverifikasi apakah
       otentik atau bukan. 
       Jika ada sejarah yang seolah-olah utuh, tugas berikutnya adalah memeriksa siapa
       penulisnya, mulai dari metodologi, objektifitas, keluguan empirik, orientasi dan
       pengaruh ilusi optik serta kecenderungan estetiknya: apakah imajinasinya sedang
       diaktifkan atau tidak.
       Untuk membedah sejarah, sebaiknya seluruh kepingan dijahit dahulu, bukan malah
       kepingan yang satu secara menyedihkan diadu dengan kepingan yang lain. Karena
       historian level dewa sekalipun tak kan pernah mampu menghadirkan sejarah tepat
       otentik dengan fakta masa lalu. Belum lagi jika kita berhadapan dengan buzzer
       penebar hoaks dari zaman perunggu sampai zaman satelit yang kemudian dipungut
       sebagai sumber sejarah.
       Saya tidak sependapat jika sejarah tetap dipaksakan sebagai salah satu disiplin ilmu
       atau sains akademik, kecuali ia ingin sendirian, kerdil dan kebingungan. Untuk
       dapat disebut ilmu paling tidak sejarah harus melewati uji ganda yakni empirik dan
       logis, serta harus dapat dijelaskan secara ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 
       Para pengkritik melihat sejarah sebagai sesuatu yang tidak ilmiah karena tidak
       memenuhi faktor-faktor keilmuan, terutama faktor dapat dilihat atau dicoba
       kembali. Artinya sejarah hanya dipandang sebagai pengetahuan (knowledge)
       belaka, bukan sebagai ilmu. 
       Immanuel Kant yang disebut-sebut sebagai filosof modern paling dewasa sekaligus
       Bapak Sosiologi   -bandingkan   dengan   Nietzsche   yang   kemudian   gila   setelah
       membapaki postmodernisme- bahkan mengejek sejarah sebagai penata batu bata
       dari fakta-fakta sosiologis.
       Tepat sekali, sejarah hanyalah kepingan kecil bata, bila kita ingin melihat masa lalu
       semegah jembatan Golden Gate, Borobudur, Taj Mahal, atau Burj Khalifa. Pada
       akhirnya sejarah adalah paradoks. Ia membawa sifat yang lembik dan kerdil karena
       beratnya tugas ilmu serta secara bersamaan ia ingin dilihat seperti raksasa. 
       Bangsa-bangsa   punya   sifat   untuk   menggelorakan   masa   lalu   dengan   cara
       membangkitkan paksa raksasa tidur sejarah, seringkih apapun ujud aslinya. Tidak
       terverifikasi bukan berarti tidak benar, namun cara kerja pedagogi sejarah harus
       dilepaskan jika hanya akan menghambat tugasnya sebagai metafora glorifikasi.
       Glorifikasi versus Sains Sejarah
       Ketika inspirator saya, Dato’ Rida K Liamsi menyodorkan tema seminar ini:
       Sumbangan Sastra pada Sejarah, saya menganggapnya sebagai jebakan filosofis,
       mengenang beliau seorang tokoh sastrawan sekaligus budayawan yang punya
       samuderanya sendiri.
       Sastra dan sejarah terlihat seperti dua sisi koin. Apakah sastra menyumbang
       kepada sejarah, sebaliknya atau saling. Dalam Klasika, sastra dan sejarah dihimpun
       bersama-sama dengan filsafat, seni, dan arkeologi sebagai bagian dari studi utama
       Humaniora.
       Maka sejarah dan sastra sebahu dalam peradaban manusia. Mereka bahkan saling
       mengutangi. Sejarah sebagai mitologis -agar ia lebih leluasa mengungkapkan
       dirinya- membutuhkan sastra lebih dari teman seiringan. Hanya sastra lah yang
       ingin melihat sejarah tumbuh besar, untuk melengkapi kepingan fakta yang sangat
       terbatas dengan kelimpahan mitos sehingga ia menjadi bangunan istana yang
       megah.
       Sebaliknya, jika sejarah tidak ingin mengalah untuk mengorbankan orisinalitasnya,
       sastra akan segera kelelahan di bait pertama. Sastra akan memetik mitos-mitos
       untuk membangun metabahasa, dan mendaki puncak estetikanya. Keduanya
       menjalin simbiosa mutualis ketika sejarah menjadi labil, hilir mudik antara logika,
       lagenda dan mitos. Ini demi tugas mulia para penulis (sastra) sejarah kuno untuk
       mengagungkan leluhurnya  dengan   majas-majas   hiperbola   hingga   melahirkan
       sejarah virtual atau sejarah kontra-faktual.
       Meminjam Stephen Palmquist tentang empat ide dasar sejarah umat manusia yakni
       mitos, sastra, filsafat, dan ilmu. Masih tersisa dua hal yakni filsafat dan ilmu. Filsafat
       dengan sifat dasar holistik dan kecenderungan metafisisnya tidak ingin lekas-lekas
       membuang mitos ke dalam tong sampah peradaban, tapi menjaga kemungkinan
       masih ada yang bisa digali darinya. 
       Sedangkan ilmu atau fisika sosial sejarah, telah lama mengasingkan diri sejauh-
       jauhnya dari mitos bahkan logos sejak dimulainya revolusi kognitif. Semisal, ketika
       menulis Sejarah Alam pada ujung abad ke-16, Francis Bacon mendefiniskan, historia
       atau sejarah adalah pengetahuan tentang objek yang ditentukan oleh ruang dan
       waktu, yang disediakan oleh ingatan, sementara ilmu disediakan oleh akal, dan
       puisi disediakan oleh fantasi.
       Impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena,
       yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 SM). Zaman itu merupakan
       inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani. Perkembangan yang paling signifikan
       berikutnya dalam sejarah Yunani adalah penciptaan epos-epos Homeros dan Hesiod
       ( 700 SM), yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini.
       Sejarah tertulis Cina dimulai sejak Dinasti Shang (1750 SM - 1045 SM). Cangkang
       kura-kura dengan tulisan Cina kuno yang berasal dari Dinasti Shang memiliki
       penanggalan radiokarbon hingga 1500 SM. Budaya, sastra, dan filsafat Cina
       berkembang pada zaman Dinasti Zhou (1045 SM hingga 256 SM) kemudian
       dilanjutkan oleh Dinasti Shang. Dinasti ini merupakan imperium yang paling lama
       berkuasa dan pada zaman dinasti inilah tulisan Cina modern mulai berkembang.
       Sementara Hikayat Melayu yang mengacu kepada Sulalatus Salatin, Malay Annals,
       Hikayat Hang Tuah, Tuhfat al Nafis, dan seterusnya adalah campuran antara mitos
       dan fakta sejarah. Ketika fase mitos-mitos Yunani disulam oleh Homer, mitologi
       sekaligus sejarah Melayu paling tidak dimulai oleh Tun Sri Lanang yang kemudian
       direproduksi oleh Munsyi, Raffles, dan Shellabear.
       Rancangan  Sulalatus Salatin  menjadi satu-satunya peninggalan sastra sekaligus
       sejarah yang dapat selamat  dari spekulasi tenggelamnya perahu haloba Portugis
       yang syarat muatan, sehingga buku-buku dari Istana Melaka ikut terkubur di dasar
       laut (lihat: Prolog Sulalatus Salatin – A. Ahmad Samad, Kuala Lumpur, 1978).
       Tun Sri Lanang atau Tun Muhammad telah melahirkan versi sulung Sulalatus Salatin
       sebelum kemudian dibuat sedikitnya 29 versi tulis tangan yang kemudian tersebar
       ke sejumlah negara, Inggris (10 di London, 1 di Manchester), Belanda (11 di Leiden,
       1 di Amsterdam), Indonesia (5 di Jakarta), dan 1 di Rusia (Leningrad).
       Menurut Winstedt, kitab Sulalatus Salatin mulai dikarang bulan Februari 1614 dan
       selesai Januari 1615, sewaktu menjadi tamu di kawasan Pasai. Itu artinya Eropa
       sedang berada di puncak renaisans. Bahkan telah didahului oleh seniman dunia
       macam  Desiderius   Erasmus   (1466-1536),   Leonardo   da   Vinci   (1452-1519),
       Michaelangelo (1475-1564). 
       Eropa juga menjadi lokus para penulis sastra kelas dunia. Sastra di Eropa telah
       dimulai sejak 880 SM, kemudian berlanjut dengan Sastra Latin, sastra abad
       pertengahan, sastra renaisans serta dimulainya sastra modern pada tahun 1800
       Masehi. 
       Pemuncak sastra klasik dalam bidang drama misalnya, diwakili oleh Sophocles
       lewat Oedipus Rex and Antigone. Sastra Latin mempersembahkan The Aeneid oleh
       goresan   emas   Virgil,   lalu   Wiliam   Shakespeare   menyeruak   pada   awal   abad
       pertengahan melalui keagungan  Hamlet.  Sastra Renaisans merayakan zaman
       keemasan mereka dalam kegurihan Dr. Fraus oleh Marlowe, sedangkan pengabdi
       sastra modern berdecak kagum pada  Pygmalion  garapan Bernard Shaw.   Yang
       mereka-mereka ini telah pula didahului Abu Nawas (756 - 814), Jalaluddin Rumi
       (1207-1273), dan   Umar Khayyām   (1048 – 1131). Sebagaimana juga sejarah
       mencatat ilmuan Muslim adalah batu api pembangkit Eropa.
       Akibat cengkaman feodalisme dan kolonialisme Eropa, Semenanjung Melayu tidak
       melahirkan sastrawan yang dapat dicatat oleh dunia, selain mungkin Tun Sri Lanang
       di masa itu. Secara universal, posisi Semenanjung Melayu dan Nusantara umumnya
       yang menjadi persilangan antara Timur dan Barat memiliki kesempatan yang besar
       untuk mencerap renaisans dengan kegemilangan filsafat analitik Barat junto Islam
       serta sekaligus kearifan filsafat sintetik Timur.
       Alam Melayu tidak mendapat percikan renaisans meski sebenarnya ia dapat berlaku
       universal   secara   humanisme   renaisans   sendiri   adalah   penciptaan   manusia
       universal. Bila kita ingin menggugat renaisans sebagai kebangkitan kembali, apa
       yang bangkit dari Eropa selain Yunani? Mereka mengaku-aku begitu saja sebagai
       bagian dari kehebatan silam Yunani terutama Athena, yang memang lemah
       mempertahankan kekentalan darah filosofnya. Dengan kata lain, renaisans bukan
       eksklusivisme  Eropa, ledakan pemikiran juga bisa terjadi di alam Melayu di masa
       yang sama, tapi itu tidak terjadi sebagai sisi gelap feodalisme.
       Feodalisme di Eropa sebenarnya juga menghambat gelegak magma renaisans.
       Negara-negara besar Eropa seperti Perancis dan Spanyol adalah monarki absolut,
       dan lain-lain berada di bawah kontrol langsung Gereja. Republik-republik kota
       mandiri   Italia   utamanya   Florence   lah   yang   mengambil   alih   prinsip-prinsip
Kata-kata yang terdapat di dalam file ini mungkin membantu anda melihat apakah file ini sesuai dengan yang dicari :

...Makalah seminar internasional sastra gunung bintan sejarah dalam muhammad natsir tahar sebuah paradoks ini ditulis dengan padat dan cepat untuk menyiasati ruang waktu yang terlihat sempit saya memiliki semacam kecenderungan holistik sedapatnya memetakan semua dimensi relevan ke hampir tulisan berpura pura menjadi seorang generalis menutupi bahwa tak punya minat khusus terhadap disiplin ilmu apapun kecuali belakangan filsafat juga adalah refleksi kegelisahan tabiat kolektif superfisial kita merasa selalu selesai satu dua hari bicara jika kebetulan tidak di bidang apakah tertarik memadatkan keseluruhan atau seperti biasa mengambil sepotong kecil mozaik kuno terdekat umumkan itulah leluhur johann wolfgang von goethe mengomel barang siapa dapat belajar dari masa tiga ribu tahun berarti dia memanfaatkan akalnya tokoh terpenting dunia jerman zaman romantisme eropa manusia baru akal ketika rentang abad terdengar agak kejam menyusahkan meski sebenarnya secara egois ia ingin menyeret agar memul...

no reviews yet
Please Login to review.