Authentication
170x Tipe DOC Ukuran file 0.14 MB Source: eprints.unpam.ac.id
35 BAB III TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK KARENA ALASAN EFISIENSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Proses Penyelesaian PHK karena efisiensi menurut Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan karena efisiensi tidak secara rinci diatur dalam UU PPHI. Sehingga proses atau prosedur penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi ini tetap dilakukan dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPHI. Dengan diundangkan UU PPHI tersebut, maka UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga penyelesaian masalah hubungan industrial yang terjadi sejak diberlakukannya UU PPHI harus mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang ini. Penyelesaian Perselisihan pemutusan kerja dengan alasan efisiensi yang terjadi pada Keputusan MA No.36/PHI/2006, sebelum diajukan kasasi ke Mahkamah Agung masih menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Didalam produk Perundang- undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga Bipartit, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga 35 36 Tripartit, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan PHI dan P4P. Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 berlaku setelah pihak penggugat (pengusaha) mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung tepatnya pada tanggal 27 Juni 2006. Dengan berlakunya undang-undang ini maka Hakim Agung menyatakan putusan Pengadilan Hubungan Industrial tidak perlu dicantumkan lagi. Perselisihan pemutusan hubungan kerja termasuk pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi menurut UU PPHI wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat yaitu melalui perundingan bipartit. Apabila usaha penyelesaian melalui bipartit gagal maka dilakukan usaha penyelesaian melalui tripartit yaitu dengan jalan mediasi dan konsolidasi. Jika usaha penyelesaian melalui tripartie juga menemui kegagalan, para pihak baru dapat menruskan perselisihannya melalui jalur litigasi yaitu dengan cara menggugat pihak lain ke Pengadilan Hubungan Industrial. Seperti kasus-kasus PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang terjadi kerap membuat kita miris, karena PHK sepihak masih mendominasi permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia. PHK dengan alasan efisiensi seperti pemberian hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi merupakan Pemutusan Hubungan Kerja yang kerap menimbulkan masalah. Permasalahannya adalah perusahaan sering memberikan hak-hak pekerja/ buruh yang kurang sesuai dan tidak jarang juga pihak pekerja/buruh meminta hak-hak mereka melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang- 37 undangan. Perselisihan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan perselisihan yang terjadi karena para pihak atau salah satu pihak tidak sepaham mengenai PHK yang dilakukan. Sebelumnya pengaturan mengenai penyelesaian PHK diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1964 yang prosedur penyelesaianya cukup panjang serta memakan waktu yang cukup lama, yaitu mulai dari tingkat kota PHI, P4P, sampai Menteri Tenaga Kerja dan terakhir ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang N0. 5 Tahun 1986. Jalan yang harus ditempuh oleh para pihak untuk mencari keadilan semakin panjang.1 Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial selama ini dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadinya khususnya mengenai hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Selain itu dengan ditetapkannya Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai objek objek Sengketa Tata Usaha Negara, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha (perusahaan) untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.2 Sehingga belum dapat mewujudkna penyelesaian secara sederhana, cepat, adil dan biaya ringan. Dengan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tersebut dikeluarkanlah UU PPHI yang dianggap dapat mengakomodir perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam penyelesaian hubungan industrial dan dengan waktu penyelesaian yang tidak terlalu lama Pelaksanaanya sering kali pengusaha harus menghadirkan para manajer ke persidangan untuk memberikan kesaksian tentang kondisi perusahaan dan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menyelematkan perusahaan, yang sering kali kesaksian tersebut oleh hakim dianggap tidak bernilai hukum karena keterangan diberikan tidak dibawah sumpah. Majelis hakim yang masih berkenaan mendengarkan saksi tanpa disumpah umumnya, 1 Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal. 166 2 Lihat Penjelasan umum atas UU PPHI 38 memahami bahwa perselisihan antara pengusaha dengan pekerja sehingga tidak mungkin mengharapkan keterangan saksi dari pihak luar. B. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Luar Pengadilan (Non-Litigasi) 1. Penyelesain Secara Bipartit Pasal 3 UU PPHI menentukan bahwa setiap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melalui perundingan bipartie secara musyawarah untu mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui bipartie harus mampu diselesaikan paling lama tiga puluh hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila jangka waktu tiga puluh hari para pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan bipartie dianggap gagal. 3 Apabila perundingan mencapai mencapai persetujuan atau kespakatan maka persetujan bersama (PB) tersebut dicatatkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), namun apabila perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka slah satu pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggu jawab di bidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/kota. Salah satu bukti persayarataan yang mutlak dalam pencatatan tersebut adalah bukti atau risalah perundingan Bipartit, apabila bukti perundingan tidak ada, maka pencatannya ditolak selanjutnya diberi waktu 30 hari untuk melakukan perundingan bipartie, dan apabila bukti/risalah perundingan telah lengkap, maka kepada pihak pengadu ditawarkan tenaga penyelesaian perselisihan apakah melalui mediator, konsiliator, atau arbiter.4 Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain. Begitu pula apabila terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan terhadap pekerja/buruh sebaiknya penyesaiannya juga dilakukan secara musywarah mufakat, sehingga dapat memperoleh 3Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal.149 4Mitar Pelawi, Op.cit.hal.8
no reviews yet
Please Login to review.