Authentication
299x Tipe DOCX Ukuran file 0.01 MB
Kumajo Dan Ular Raksasa Dahulu kala ada seorang petani yang bernama Kumazo. Kumazo adalah petani yang rajin bekerja. Ia berbadan tinggi besar dan disegani banyak tetangga. Suatu hari, dengan memikul bakul di pundaknya Kumazo pergi ke ladangnya. Hari ini ia akan memberi pupuk pada tanamannya agar tumbuh dengan subur. Namun, saat ia sedang asyik menyebarkan pupuknya tiba-tiba terdengar suara desisan yang sangat keras. Dan hampir bersamaan dengan itu muncullah dari arah bukit seekor ular raksasa yang panjangnya mencapai 6-7 meter. Kumazo sangat terkejut. Ia merasa tidak pernah mempermainkan ular, namun entah kenapa ada induk ular yang datang menemuinya. “Aduh, kenapa ada ular sebesar ini datang kemari ya?” katanya dengan gemetar. Ia lalu meraih gagang pikulnya dan secepatnya lari meninggalkan ladang. Namun belum sampai ia lari jauh, tiba-tiba kakinya terantuk gundukan tanah di ladang. Dan ular raksasa pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan menjulur-julurkan lidahnya yang berwarna merah, ia mulai mendekati tubuh Kumazo. Kumazo tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus mengayun-ayunkan pikulnya agar sang ular tidak bisa mendekatinya. Tiba-tiba, gagang pikul Kumazo pun patah. Saat itu juga sang ular langsung membelit tubuh Kumazo. “Tu.. tunggu sebentar. Lepaskan aku!” teriak Kumazo. Ular itu diam sejenak. “Ada apa?” pikirnya. “Tunggu sebentar. Lepaskan aku dulu. Aku harus kembali ke rumahku dulu untuk berpamitan kepada keluarga. Setelah itu aku berjanji akan segera kemari untuk menyelesaikan pertarungan kita” kata Kumazo untuk meyakinkan ular tersebut. Sejenak ular tersebut terdiam. Namun seolah-olah mengerti perkataan Kumazo, ia pun melepaskan belitannya. Setelah terlepas dari belitan, Kumazo mengucapkan terima kasih lalu berlari pulang menuju desanya. Sementara itu, sang ular melingkarkan tubuhnya sambil menunggu kedatangan Kumazo kembali. Kumazo berlari-lari sambil berteriak-teriak kepada penduduk desa. “Ada ular raksasa di ladang!” teriaknya. Mendengar teriakan itu, para penduduk desa segera mengambil senjata tajam masing-masing. Ada yang membawa pedang, golok, tombak, dan pentungan kayu. Mereka pun beramai-ramai menuju ladang tempat Kumazo bertemu dengan ular. Namun setelah mereka tiba di ladang mereka tidak menemukan ular raksasa itu. “Hei, Kumazo. Mana ular raksasa yang kau sebutkan itu?” tanya para penduduk dengan tidak sabar. “Tadi ada disini kok!” kata Kumazo sambil menunjukkan bekas-bekas pertarungannya. “Iya, benar. Ini ada jejak ular yang besar” kata salah seorang penduduk sambil menunjukkan tanah bekas tempat ular melingkarkan tubuhnya. Para penduduk lalu menyisir ladang dan bukit di dekatnya. Mereka membabat rumput maupun ilalang disekitarnya. Namun tak juga mereka temukan ular raksasa itu. Setelah mendengar cerita Kumazo itu, para penduduk lebih berhati-hati ketika bekerja di ladang. Mereka juga mengingatkan anak-anaknya untuk tidak lagi mengganggu ular. Dahulu kala, ada sepasang suami istri yang hidup berbahagia. Kuchai, sang suami, bekerja giat dengan mengolah sawahnya sehingga kehidupan mereka berkecukupan. Panen tahun ini berhasil, karena hujan turun merata. Dengan keadaannya yang berkecukupan dan malahan berkelimpahan rezeki, mereka menjadi keluarga yang disegani. Dulu, gubuknya yang reyot, telah diubah Meja kayu Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan sesuatu, ” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek. Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam. Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?”. Anaknya menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.
no reviews yet
Please Login to review.